12.18.2025

Mbak Jamat: Ketika Buah Mangrove Menjadi Pangan, Pengetahuan, dan Penghidupan

MANGROVEMAGZ. Jika Mbah Sumat berbicara melalui estetika dan suvenir, maka Mbak Jamat menyampaikan pesan yang sama melalui rasa. Keduanya berangkat dari titik yang serupa: mangrove bukan sekadar lanskap pesisir atau simbol konservasi, melainkan ekosistem hidup yang—bila dikelola secara bijak—dapat menopang ekonomi masyarakat tanpa merusaknya.

Di tengah kecenderungan pemanfaatan sumber daya pesisir yang eksploitatif, kehadiran Mbak Jamat layak dibaca secara kritis. Bukan karena produknya unik, melainkan karena cara berpikir di balik produksinya.

Buah Mangrove, Bukan Penebangan
Seluruh produk olahan Mbak Jamat—peyek, kerupuk, hingga stik mangrove—berasal dari buah mangrove yang diolah menjadi tepung. Ini penting ditegaskan sejak awal: Mbak Jamat tidak menggunakan kayu mangrove, tidak pula memanfaatkan bagian vegetatif yang berisiko merusak struktur hutan.

Dengan kata lain, Mbak Jamat berdiri di jalur pemanfaatan non-kayu, bahkan lebih spesifik: berbasis buah. Sebuah pilihan sadar yang menempatkan kelestarian mangrove sebagai prasyarat, bukan efek samping.

Budidaya, Bukan Eksploitasi
Buah mangrove yang digunakan hanya buah yang telah matang, dipanen secara selektif oleh kelompok Bina Citra Karya Wanita (warga binaan KeSEMaT) di kawasan Semarang Mangrove Center. Praktik ini tidak berhenti pada pengambilan hasil. Setiap panen diikuti dengan penanaman kembali, memastikan bahwa siklus regenerasi mangrove tetap berjalan.

Pendekatan ini menggeser paradigma lama tentang sumber daya alam. Mangrove tidak diposisikan sebagai objek yang diambil habis, melainkan sebagai mitra produksi jangka panjang. Panen menjadi bagian dari perawatan, bukan ancaman bagi ekosistem.

Aman Lingkungan karena Berbasis Ekosistem
Karena berbahan baku buah dan dijalankan dalam kerangka budidaya, seluruh produk Mbak Jamat dapat dikatakan aman bagi lingkungan. Keamanan ini bukan klaim normatif, melainkan konsekuensi logis dari proses produksi yang tidak melibatkan penebangan, perusakan akar, atau konversi lahan mangrove.

Di sini, Mbak Jamat sejajar dengan Mbah Sumat: keduanya menunjukkan bahwa produk mangrove yang bertanggung jawab selalu dimulai dari keputusan proses, bukan sekadar label akhir.

Dari Dapur Produksi ke Ekonomi Sirkular
Lebih jauh, Mbak Jamat memperlihatkan bagaimana ekonomi sirkular dapat bekerja di tingkat komunitas pesisir. Buah mangrove yang selama ini kurang dimanfaatkan diolah menjadi produk pangan bernilai tambah. Pengetahuan lokal dipadukan dengan standar keamanan pangan, lalu dipasarkan sebagai jajanan yang dapat diterima pasar luas.

Hasilnya bukan hanya produk, tetapi mata pencaharian baru. Bina Citra Karya Wanita membuktikan bahwa perempuan pesisir dapat menjadi aktor utama dalam ekonomi hijau—bukan sekadar tenaga kerja, melainkan penjaga ekosistem sekaligus penggerak usaha.

Model ini penting karena dapat direplikasi oleh masyarakat pesisir di luar Semarang. Selama prinsip dasarnya dijaga—panen bijak, tanam kembali, dan tidak menebang—mangrove justru akan semakin lestari karena memiliki nilai sosial dan ekonomi bagi warga yang menjaganya.

Antara Konsumsi dan Kesadaran
Seperti halnya Mbah Sumat, tantangan Mbak Jamat ke depan bukan hanya soal produksi dan pemasaran, tetapi narasi. Produk pangan mangrove berisiko direduksi menjadi “unik” atau “eksotis” jika tidak disertai edukasi tentang proses, ekosistem, dan etika di baliknya.

Padahal, kekuatan Mbak Jamat justru terletak pada kemampuannya menjembatani rasa dengan kesadaran. Setiap produk yang dikonsumsi membawa cerita tentang mangrove yang tetap berdiri, tentang buah yang dipanen tanpa merusak, dan tentang masyarakat pesisir yang memilih menjaga daripada menghabiskan.

Penutup: Mangrove yang Dikelola, Bukan Dikorbankan
Mbak Jamat mempertegas satu hal penting dalam diskursus mangrove: pelestarian tidak selalu berarti larangan total, dan pemanfaatan tidak selalu identik dengan perusakan. Di antara keduanya, ada ruang etis yang bisa diisi oleh pengetahuan, kesabaran, dan keberpihakan pada ekosistem.

Bersama Mbah Sumat, Mbak Jamat menunjukkan bahwa produk turunan mangrove—baik suvenir maupun pangan—dapat menjadi alat kampanye yang nyata. Bukan dengan slogan, tetapi dengan praktik. 

Karena pada akhirnya, mangrove tidak hanya butuh dilindungi. Ia perlu dikelola dengan hormat, agar tetap hidup—dan menghidupi.

(Sumber foto: Mbak Jamat).

No comments:

Post a Comment