Mbah Sumat bukan hanya label dagang. Ia lahir dari ekosistem gagasan yang lebih besar: upaya menghubungkan produk turunan mangrove dengan kampanye kesadaran lingkungan. Tote bag dari batik mangrove, syal dan dasi dari pewarna alam mangrove, hingga berbagai suvenir lain yang terus dikembangkan oleh KeMANGI, unit bisnis IKAMaT, menunjukkan bahwa mangrove diposisikan sebagai sumber nilai—bukan hanya bahan baku.
Lebih penting lagi, produk-produk Mbah Sumat tidak dihasilkan dari eksploitasi mangrove hidup, melainkan memanfaatkan limbah mangrove yang diolah kembali secara bertanggung jawab. Praktik ini menempatkan Mbah Sumat dalam kerangka ekonomi sirkular, di mana limbah tidak dipandang sebagai akhir siklus, tetapi sebagai awal nilai baru. Dalam konteks pesisir Indonesia, pendekatan ini sekaligus membuka ruang bagi pekerjaan hijau yang berkelanjutan bagi masyarakat lokal.
Namun, di sinilah pertanyaan penting muncul:
apakah menjual suvenir mangrove otomatis berarti menyelamatkan mangrove?
Jawabannya tentu tidak sesederhana itu.
Antara Komodifikasi dan Edukasi
Produk-produk Mbah Sumat dipasarkan secara luas melalui Shopee KeMANGI. Langkah ini patut diapresiasi karena memperluas jangkauan kampanye mangrove ke masyarakat umum—melampaui lingkaran aktivis, akademisi, atau komunitas pesisir. Tetapi pemasaran digital juga membawa risiko: mangrove berpotensi direduksi menjadi sekadar estetika visual dan cerita manis di etalase e-commerce.
Tantangannya bukan pada apa yang dijual, melainkan narasi yang menyertainya. Tanpa konteks yang kuat, batik mangrove bisa kehilangan makna ekologisnya dan berubah menjadi produk fashion biasa. Dalam kondisi ini, konsumen membeli barang, bukan gagasan.
Di sinilah Mbah Sumat diuji:
apakah ia berani bersikap lebih dari sekadar brand—menjadi medium edukasi, bahkan kritik terhadap praktik eksploitatif atas mangrove itu sendiri?
Kekuatan Mbah Sumat justru terletak pada prosesnya: penggunaan pewarna alam, pemanfaatan limbah mangrove, keterkaitan dengan ekosistem pesisir, serta keterlibatan unit bisnis berbasis komunitas. Ini adalah modal sosial dan ekologis yang tidak dimiliki oleh produk massal. Sayangnya, nilai-nilai ini sering kali tidak terlihat oleh konsumen awam jika tidak dikomunikasikan secara konsisten dan jujur.
Keberlanjutan Mbah Sumat tidak hanya diukur dari angka penjualan, tetapi dari sejauh mana ia:
- mendorong kesadaran kritis tentang krisis mangrove,
- memperkuat ekonomi berbasis konservasi dan ekonomi sirkular,
- serta menolak logika “ambil–jual–habis” yang selama ini merusak kawasan pesisir Indonesia.
Aman Lingkungan Bukan Sekadar Klaim
Penegasan bahwa seluruh produk Mbah Sumat aman bagi lingkungan memberi batas yang jelas antara Mbah Sumat dan praktik greenwashing yang banyak terjadi hari ini. Aman lingkungan di sini bukan slogan kosong, melainkan hasil dari pilihan sadar: penggunaan pewarna alam mangrove, pemrosesan limbah sebagai bahan baku, serta proses produksi yang meminimalkan bahan kimia berbahaya dan dampak ekologis.
Namun, justru karena aman lingkungan, Mbah Sumat memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Produk ramah lingkungan tidak boleh berhenti pada level teknis produksi. Ia harus berani membuka prosesnya ke publik: dari mana bahan berasal, bagaimana limbah diolah, bagaimana dampak ekologis dikendalikan, dan apa kontribusi nyatanya bagi keberlanjutan mangrove dan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Di sinilah posisi kritisnya:
produk yang aman lingkungan harus transparan, bukan defensif.
Harus edukatif, bukan sekadar afirmatif.
Penutup: Menjual dengan Sikap
Dalam lanskap ekonomi hijau yang kian kompetitif, Mbah Sumat berada di persimpangan penting. Ia bisa memilih jalan aman sebagai brand suvenir ramah lingkungan, atau melangkah lebih jauh sebagai pernyataan sikap: bahwa mangrove tidak boleh dipisahkan dari cerita ekologis, sosial, dan etisnya.
Mbah Sumat menunjukkan bahwa suvenir bisa menjadi alat kampanye, ekonomi sirkular bisa berjalan dari pesisir, dan pekerjaan hijau bukan wacana kosong—asal tidak kehilangan keberanian untuk bersikap kritis terhadap dirinya sendiri.
Karena pada akhirnya, mangrove tidak butuh lebih banyak suvenir.
Ia butuh lebih banyak kesadaran, praktik yang adil, dan keberanian untuk tidak sekadar menjual, tetapi juga mengingatkan.
(Sumber foto: Mbah Sumat).


No comments:
Post a Comment