12.18.2025

Mat Kesem dan Jalan Sunyi Edukasi Mangrove yang Justru Didengar

MANGROVEMAGZ. Selama ini, mangrove kerap hadir dalam ruang publik melalui laporan ilmiah, angka kehilangan tutupan, serta jargon lingkungan yang berulang dari satu forum ke forum lain. Ironisnya, di tengah limpahan data tersebut, kerusakan mangrove tetap berlangsung. Ini menandakan bahwa persoalan konservasi bukan semata soal kurangnya informasi, melainkan soal bagaimana informasi itu disampaikan dan kepada siapa ia berbicara.

Di titik inilah Mat Kesem mengambil jalur berbeda.

Ketika Edukasi Lingkungan Kehilangan Publiknya
Banyak upaya edukasi lingkungan gagal menjangkau masyarakat luas karena terjebak pada bahasa yang eksklusif. Mangrove diposisikan sebagai objek kajian, bukan bagian dari kehidupan sehari-hari. Akibatnya, pesan konservasi berhenti di kalangan terbatas dan sulit beresonansi dengan publik umum. 

Mat Kesem hadir sebagai antitesis dari pendekatan tersebut. Ia tidak berangkat dari ruang seminar, melainkan dari cerita. Sebuah medium yang selama ini dianggap sederhana, namun justru memiliki daya jangkau yang luas dan lintas usia.

Cerita sebagai Medium yang Setara dengan Data
Melalui dongeng dan narasi, Mat Kesem memperkenalkan mangrove sebagai ruang hidup yang memiliki karakter, konflik, dan nilai. Pohon bakau, kepiting, burung, dan manusia pesisir dihadirkan sebagai tokoh-tokoh yang saling terhubung. Pendekatan ini menjadikan isu ekologi tidak terasa asing, apalagi menggurui.

Cerita bekerja dengan cara yang berbeda dari laporan. Ia tidak memaksa, tetapi mengundang. Ia tidak menghakimi, tetapi mengajak memahami. Dalam konteks edukasi mangrove, cara ini terbukti efektif membangun kedekatan emosional—sesuatu yang sering luput dalam kampanye lingkungan konvensional.

Peran Aris Priyono dan Celah yang Berhasil Diisi
Mat Kesem tidak lahir begitu saja. Ia merupakan gagasan yang dikembangkan oleh Aris Priyono, pencipta sekaligus penulis Mat Kesem, yang jeli menangkap celah kosong dalam edukasi lingkungan. Aris melihat bahwa mangrove membutuhkan narasi yang bisa diterima lintas usia dan latar belakang, tanpa kehilangan substansi ekologisnya.

Lewat konsistensi bercerita, Mat Kesem kemudian tumbuh dan dikenal luas. Tidak hanya di kalangan anak-anak, tetapi juga di antara orang dewasa dan masyarakat umum. Cerita dan dongeng Mat Kesem merambah berbagai platform media sosial populer—mulai dari Spotify, TikTok, YouTube, Facebook, hingga LinkedIn dan X—menjadikannya contoh bagaimana isu lingkungan bisa dikemas secara inklusif dan relevan dengan zaman.

Dari Narasi Digital ke Kesadaran Kolektif
Keberhasilan Mat Kesem di berbagai platform digital menunjukkan satu hal penting: publik sebenarnya siap mendengar isu mangrove, asalkan disampaikan dengan bahasa yang dekat dan manusiawi. Di sinilah cerita berfungsi sebagai pintu masuk menuju kesadaran kolektif.

Lebih jauh, narasi yang dibangun Mat Kesem juga berkembang ke bentuk lain, seperti e-book edukasi, kegiatan donasi, dan showcase yang sejalan dengan nilai keberlanjutan. Ini menegaskan bahwa cerita bukan pengganti aksi, melainkan fondasi bagi aksi yang lebih berakar.

Opini: Merawat Mangrove Membutuhkan Imajinasi Sosial
Mangrove tidak hanya membutuhkan perlindungan fisik, tetapi juga ruang dalam imajinasi sosial kita. Selama ia hanya hadir sebagai angka dan grafik, kepedulian akan mudah luntur. Namun ketika ia hidup dalam cerita, ia menjadi bagian dari identitas bersama.

Pendekatan seperti Mat Kesem mengingatkan kita bahwa konservasi adalah kerja jangka panjang yang membutuhkan strategi komunikasi yang tepat. Cerita bukan romantisasi, melainkan alat penting untuk memastikan pesan lingkungan benar-benar sampai.

(Sumber foto: Mat Kesem).

No comments:

Post a Comment