4.13.2025

Roh Penjaga Hutan Air: Mangrove dalam Imajinasi Spiritualitas Pesisir

MANGROVEMAGZ. Bayangkan kamu berdiri di pinggir hutan bakau, saat matahari nyaris tenggelam di ujung laut. Akar-akar melintang seperti jaring-jaring raksasa yang hendak menangkap cerita-cerita lama. Air payau mengendap di kaki, sunyi mencekam tapi juga menenangkan. Angin pesisir mengantar suara-suara yang tidak kau tahu berasal dari mana, seperti bisikan, seperti doa, atau malah mungkin peringatan. Di sinilah mangrove bukan sekadar pohon. Ia bisa jadi guru, penjaga, bahkan sesuatu yang lebih misterius: ia adalah roh dari batas darat dan laut.

Orang kota mungkin cuma melihat mangrove sebagai tempat yang bau lumpur, penuh nyamuk, dan sesekali ditanami dalam rangka proyek CSR. Tapi bagi sebagian masyarakat pesisir, mangrove adalah ruang sakral. Tempat yang harus dihormati. Ada pohon-pohon tertentu yang tidak boleh ditebang sembarangan. Ada sudut-sudut tertentu di dalam hutan bakau yang dikeramatkan. Di situlah dipercaya ada penunggu, entah berupa roh leluhur, jin laut, atau makhluk yang tidak punya nama. Tapi kehadirannya terasa, bahkan oleh mereka yang tidak percaya.

Saya pernah duduk dengan seorang nelayan tua di sebuah kampung kecil di pesisir Jawa. Dia tidak pernah sekolah tinggi, tapi pengetahuannya tentang mangrove melebihi buku ekologi mana pun yang saya baca. Ia bilang, “Kalau akar mangrove sudah mulai banyak yang mati, itu pertanda cuaca akan rusak. Kalau burung-burung laut menjauh dari bakau, bisa jadi laut akan membawa musibah.” Ia tidak bilang ini sains. Ia menyebutnya warisan, ilmu dari para leluhur yang sudah menyatu dengan tanah, air, dan udara. Tidak tercatat, tapi diwariskan lewat cerita, lewat laku hidup.

Ada pula kisah tentang perempuan-perempuan tua yang datang ke mangrove membawa sesaji. Mereka meletakkan bunga tujuh rupa, menyalakan dupa, dan membisikkan doa dalam bahasa yang tak semua orang pahami. Apakah ini bentuk animisme? Mungkin. Tapi bisa juga dilihat sebagai cara mereka menjaga keseimbangan. Mereka percaya, jika ingin hutan memberi kehidupan, maka manusia harus lebih dulu menghormati sang penjaga hutan. Dalam dunia yang sibuk bicara angka karbon dan indeks kerusakan ekosistem, mereka bicara tentang rasa. Tentang hubungan batin antara manusia dan alam yang tidak bisa dijelaskan lewat grafik.

Lucunya, saat para ilmuwan modern mulai bicara soal ecospirituality, masyarakat pesisir kita sudah lama mempraktikkannya. Mereka tidak butuh istilah keren atau jurnal bereputasi. Mereka tahu, hutan bakau menyimpan kehidupan, maka harus dijaga dengan tata krama. Tidak boleh bicara sembarangan di dalam hutan. Tidak boleh meludah sembarangan. Bahkan, tidak boleh buang hajat di sana. Itu pamali. Bukan karena takut hantu, tapi karena di situ ada kehidupan yang tidak boleh dirusak. Hormat adalah bentuk tertinggi dari pengetahuan.

Kadang saya berpikir, mungkin kita terlalu cepat mencap hal-hal seperti ini sebagai takhayul. Padahal justru di situlah kekayaan batin kita tumbuh. Jika ditelusuri lebih dalam, banyak dari ritual itu tak sekadar simbolis. Ia adalah bentuk relasi ekologis yang sudah dirumuskan jauh sebelum istilah “keseimbangan lingkungan” masuk buku pelajaran. Dalam setiap larangan dan kepercayaan, tersembunyi etika ekologis yang sangat bijak: jangan merusak rumah kehidupan, bahkan kalau itu terlihat sepele.

Kini, ketika dunia mulai sadar pentingnya mangrove untuk menghadapi krisis iklim, suara masyarakat yang selama ini dijuluki “terbelakang” justru bisa jadi kunci. Mereka tidak punya teknologi satelit, tapi mereka tahu kapan air laut mulai berubah rasa. Mereka tidak tahu apa itu IPCC, tapi mereka bisa memprediksi angin buruk lewat gerak awan dan suara burung di hutan bakau. Sayangnya, suara-suara seperti itu perlahan digusur oleh kebijakan tambak, reklamasi, atau proyek wisata yang menjadikan mangrove sebagai “view Instagramable” belaka.

Di balik itu semua, ada tragedi yang nyaris tak terdengar: lenyapnya kepercayaan pada pengetahuan lokal. Saat anak-anak pesisir mulai lebih kenal TikTok ketimbang petuah kakek-nenek mereka, kita kehilangan sesuatu yang tak bisa dibeli: akar kebijaksanaan yang tumbuh dari pengalaman hidup berdampingan dengan alam. Mereka yang dulu tahu cara membaca gelombang dari arah angin kini hanya bisa geleng kepala saat laut membawa bencana tanpa aba-aba. Kita kehilangan bukan hanya pengetahuan, tapi juga ketajaman rasa.

Saya membayangkan, apa jadinya jika kita mulai mendengarkan cerita-cerita tua itu? Bukan untuk romantisasi, tapi untuk menyambung kembali hubungan yang terputus. Hutan mangrove bukan cuma urusan karbon dan abrasi. Ia adalah dunia yang penuh isyarat, penuh simbol, dan penuh misteri. Di akar-akar rumitnya, tersimpan bukan cuma kehidupan ekologis, tapi juga spiritualitas yang mendalam.

Mangrove adalah semacam katedral liar, tanpa kubah, tanpa lonceng, tapi penuh kekhidmatan. Ia tidak butuh arsitek atau pastor, cukup angin laut dan desir ombak untuk membuat siapa pun yang berjalan di bawah naungannya merasa kecil sekaligus tenteram. Di dalamnya, kita diajak untuk diam, untuk mendengarkan. Untuk menunduk, bukan hanya pada alam, tapi pada kebijaksanaan yang selama ini tersembunyi dalam sunyi. Dan mungkin, saat kita mulai belajar mendengar, mangrove akan mulai bicara kembali. Bukan dengan kata-kata, tapi dengan kehidupan. Dengan caranya sendiri: tenang, liar, dan suci. Seperti doa yang tak pernah ditulis, tapi selalu sampai. (T.H. Hari Sucahyo -  Peminat Ekologi Sumber Daya Hayati dan Keutuhan Ciptaan).

(Sumber foto: dokumentasi pribadi)

No comments:

Post a Comment