11.15.2023

Faktor-Faktor Penyebab Kegagalan Program Rehabilitasi Mangrove di Indonesia

MANGROVEMAGZ. Program-program rehabilitasi mangrove dengan bentuk kegiatan penanaman bibit mangrove, banyak kita jumpai di berbagai wilayah pesisir di Indonesia, terutama di pesisir pantai utara Jawa. Salah satu tujuan dari kegiatan tersebut adalah untuk merehabilitasi lahan, dimana banyak terjadi alih fungsi lahan mangrove menjadi kawasan industri, perumahan, infrastruktur dan pertambakan. 

Perubahan hutan mangrove berdampak buruk pada kondisi ekologi dan fisik yang dirasakan langsung oleh warga pesisir. Dampak ekologi berupa menurunnya hasil tangkap ikan, sehingga berpengaruh pada penurunan pendapatan. Sementara itu, dampak fisik yang dirasakan adalah abrasi pantai, yakni mundurnya garis pantai ke wilayah pemukiman yang berpotensi merusak daratan di desa-desa sekitarnya.

Perlu diketahui, bahwa perubahan garis pantai di Jawa, terutama di bagian utara relatif tinggi. Abrasi di Kota Semarang, Jawa Tengah selama kurun waktu 20 tahun (2001 - 2021) mencapai 10,31 m/tahun (Amalia, 2022).

Program rehabilitasi mangrove berarti upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan mangrove dan lahannya, guna meningkatkan daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam menjaga sistem penyangga kehidupan di kawasan pesisir.

Program rehabilitasi ini, juga sejalan dengan upaya restorasi mangrove yang bertujuan untuk menghidupkan kembali ekosistem hutan mangrove yang sudah mengalami kerusakan, degradasi, atau bahkan kehilangan. Proses ini mencakup penanaman bibit mangrove, pemulihan kualitas tanah, dan reintroduksi flora dan fauna asli ke wilayah tertentu di kawasan pesisir.

Salah satu kegiatan yang dapat dilakukan adalah dengan penanaman bibit mangrove yang bertujuan untuk mengurangi dampak negatif dari kerusakan mangrove tersebut. Namun demikian, pengembalian hutan mangrove menjadi seperti sediakala adalah mustahil, sehingga yang masih bisa dilakukan hanya mengembalikan kondisinya menyerupai kondisi awalnya.

Sejak terjadinya tsunami di Nangroe Aceh Darussalam pada tahun 2004, yang memakan banyak korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang besar, maka masyarakat, LSM dan pemerintah mulai sadar akan pentingnya menjaga hutan mangrove sebagai benteng alami peredam energi gelombang tsunami.

Apalagi, pada era sekarang ini, semakin banyak yang menyadari bahwa fungsi mangrove tidak hanya pada segi ekologis, biologis dan ekonomis saja, namun juga kemampuan mangrove dalam menyimpan karbon yang lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan tumbuhan terestrial.

Hal tersebut, membuat banyak lembaga, seperti komunitas, perusahaan, stakeholder terkait lingkungan dan pemerintah, berlomba-lomba melakukan aksi penanaman mangrove untuk menghapus jejak emisi karbon di bumi.

Dengan berbagai manfaat yang ada pada mangrove, termasuk memasok ketersedian ikan, mengurangi energi gelombang tsunami, menahan abrasi dan menyimpan karbon, maka program rehabilitasi mangrove, sampai saat ini masih terus dikampanyekan dan dikerjakan. Selanjutnya, kegiatan menjaga mangrove yang sudah ada juga harus selalu dilakukan, mengingat kerusakan yang masih terus terjadi.

Menurut beberapa referensi, penurunan area mangrove untuk kegiatan industri, perumahan, pembangunan infrastruktur dan pertambakan mencapai kisaran 52.000 ha/tahun. Sayangnya, kegiatan penanaman bibit mangrove juga banyak yang gagal, baik disebabkan oleh faktor alam maupun manusia dalam perencanaan program penanaman.

Berikut ini, adalah faktor-faktor penyebab kegagalan program rehabilitasi mangrove di Indonesia:

1. Tidak Melibatkan Warga Sekitar
Warga di sekitar lokasi penanaman merupakan agen utama dalam kesuksesan program rehabilitasi mangrove. Pada dasarnya, warga setempat lebih mengetahui detail area mangrove di wilayahnya, seperti pengetahuan tentang kepemilikan lahan, kondisi sedimentasi, abrasi dan pasang surut. Selain itu, warga juga berinteraksi langsung dengan hutan mangrovenya, sehingga perlu mengikutsertakan mereka dalam setiap kali program rehabilitasi mangrove.

Dengan demikian, apabila warga tidak dilibatkan dalam program rehabilitasi mangrove, maka setelah penanaman, sangat mungkin apabila bibit mangrove yang ditanam tidak akan terjaga dengan baik bahkan gagal tumbuh karena tidak ada yang menjaganya. 

Pelibatan warga sekitar tapak juga akan meningkatkan rasa memiliki dan menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya menjaga hutan mangrove. Pelibatannya bisa dalam berbagai kegiatan, seperti pembibitan, penanaman dan pemantauan mangrove

Selanjutnya, program rehabilitasi mangrove juga perlu diiringi dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat, misalnya kegiatan pelatihan produk mangrove bukan kayu, berupa pelatihan batik, jajanan dan kopi mangrove.

Kegiatan pemberdayaan masyarakat seperti ini, akan memberikan dampak yang positif pada peningkatan ekonomi warga pesisir karena mereka mendapatkan pendapatan alternatif sehingga program rehabilitasi mangrove dapat berjalan lebih optimal dan berkesinambungan.

2. Ketidaktepatan Lokasi Penanaman
Pada kegiatan penanaman mangrove, perlu dipastikan lokasi penanaman yang tepat agar sesuai dengan zonasi mangrovenya. Hal ini, mengingat lokasi penanaman merupakan faktor utama bagi suksesnya tumbuh kembang bibit mangrove yang telah ditanam.

Penting diperhatikan, banwa ternyata banyak kegiatan penanaman mangrove yang ditanam di area mudflat (dataran lumpur) dengan persentase kegagalan yang cukup tinggi. Daerah ini dikenal sebagai dataran pasut yang merupakan lahan basah pesisir yang terbentuk di daerah intertidal, dimana sedimen telah diendapkan oleh pasang surut atau sungai.

Lokasinya berada di bawah Mean Sea Level (MSL) air laut, sehingga selalu tergenang. Kondisi inilah yang mempengaruhi tingginya salinitas di daerah ini. Selain itu, area ini merupakan ekosistem padang lamun sehingga hanya spesies mangrove tertentu saja yang dapat mendiaminya.

Mangrove merupakan tumbuhan yang dapat hidup dengan baik di area pasang surut air laut. Selain itu, setiap jenis mangrove juga memiliki zonasinya masing-masing. Beberapa jenis mangrove dapat bertahan pada tingkat salinitas yang rendah hingga tinggi. 

Tingkat salinitas ideal mangrove agar dapat bertahan hidup berada di kisaran 15 - 20 ppt, dengan nilai maksimal 35 ppt. Tingkat salinitas di atas 50 ppt, akan menyebabkan mangrove mati. Namun demikian, Avicennia spp dapat beradaptasi pada tingkat salinitas yang sangat tinggi, yakni 70 - 90 ppt, dengan pertumbuhan yang kerdil.

3. Buruknya Aliran Hidrologi
Aliran hidrologi atau aliran air juga merupakan kunci kesuksesan pertumbuhan bibit mangrove. Aliran hidrologi berfungsi sebagai asupan nutrisi dan oksigen agar pertumbuhan mangrove lebih sehat. Kondisi aliran hidrologi yang buruk akan mengakibatkan mangrove stres bahkan mati. Aliran dari sungai akan membawa suplai sedimen-baru yang dapat digunakan mangrove sebagai tempat regenerasi.

Banyak kasus di lapangan yang menunjukkan bahwa mangrove ditemukan mati secara perlahan karena aliran hidrologi yang dihambat. Penghambatan aliran hidrologi ini mengakibatkan pasokan air pasang dari laut dan aliran air dari sungai tidak dapat menjangkau daerah mangrove. Kejadian ini banyak ditemukan pada area mangrove yang dialihfungsikan menjadi bangunan infrastruktur dan area pertambakan.

Perlu diketahui, bahwa area pertambakan yang tidak produktif dapat direhabilitasi dengan baik dengan perbaikan aliran hidrologi karena dapat meningkatkan pertumbuhan mangrove secara alami. Secara umum, teknis yang dilakukan untuk memperbaiki aliran hidrologi adalah dengan cara pengukuran elevasi tanah, kedalaman perairan dan arah aliran sehingga memungkinkan aliran hidrologi masuk ke area tambak.

Setelah itu, barulah dilakukan perlakuan penaburan benih jenis-jenis mangrove yang serupa dengan mangrove yang sudah ada sebelumnya di sekitarnya.

4. Besaran Arus dan Ketinggian Gelombang Laut
Jika penanaman bibit mangrove dilakukan di area hamparan terbuka yang berhadapan langsung dengan laut, maka perlu dilakukan pengamatan terhadap kondisi arus dan gelombang lautnya. Arus yang besar dan gelombang yang tinggi akan mempengaruhi sukses tidaknya program penanaman mangrove. Hal ini mengingat arus dan gelombang tersebut dapat menghanyutkan bibit mangrove yang telah ditanam. Ditambah lagi, dengan adanya periode angin musiman, dimana energi arus yang besar dan gelombang yang tinggi juga akan berada pada kondisi puncaknya.

Namun demikian, jika lokasi penanaman mangrove berada pada area yang terlindung dari arus dan gelombang, misalkan terdapat pemecah gelombang atau berada di teluk, maka masih memungkinkan untuk dilakukan penanaman bibit mangrove di area tersebut, terlebih lagi apabila suplai sedimen dari muara sungai memadai. 

5.  Perubahan Kebijakan Penggunaan Lahan Mangrove
Perubahan kebijakan penggunaan lahan mangrove berkaitan erat dengan kondisi politik di suatu negara. Untuk itulah, maka hal ini dapat mempengaruhi keberhasilan program rehabilitasi mangrove. Dengan demikian, maka sebelum melakukan program rehabilitasi mangrove, harus dipastikan terlebih dahulu mengenai status lahan penanaman mangrove yang harus sesuai dengan zona peruntukannya. Hal ini, mengingat area mangrove yang sudah berada di zona hijau atau hutan sekalipun, terkadang masih tidak aman karena terkena dampak akibat dari terjadinya perubahan kebijakan penggunaan lahan.

Beberapa daerah, seperti Kabupaten Demak, Kendal dan Kota Semarang memiliki area mangrove yang dipengaruhi oleh kebijakan di tingkat nasional (dengan adanya Program Strategis Nasional (PSN) pembangunan jalan tol).

Perencanaan PSN yang direncanakan membendung aliran air laut menyebabkan kegagalan program rehabilitasi mangrove. Secara teknis, terhambatnya aliran air dari laut oleh struktur bangunan tol tersebut berakibat pada tertutupnya suplai air pasang surut ke kawasan mangrove sehingga mengakibatkan kematian mangrove secara masif.

6. Bibit Mangrove Tidak Berasal dari Lokasi Penanaman
Program rehabilitasi mangrove yang menggunakan bibit mangrove dari luar lokasi penanaman, juga akan mempengaruhi pertumbuhan bibit mangrove. Pastikan bibit mangrove berasal dari daerah sekitar atau dalam radius yang tidak terlalu jauh, untuk meningkatkan persentase kelulushidupannya.

Sebagai informasi, bibit mangrove yang ditanam pada lokasi baru akan mengalami fase kritis di tiga bulan pertamanya setelah kegiatan penanaman dilakukan. Fase kritis adalah masa dimana bibit mangrove beradaptasi dengan lingkungan barunya, dengan cara mengeringkan dan menggugurkan daunnya. Pada bulan keempat, setelah bibit mangrove berhasil melewati fase kritisnya, maka dipastikan akan dapat tumbuh dengan baik. (BRDA).

(Sumber foto: koleksi pribadi).

No comments:

Post a Comment