Gapura masuk Hutan Mangrove Morosari, Demak. (Sumber foto).
MANGROVEMAGZ. Julukan Kota Wali begitu melekat untuk Kabupaten Demak. Keberadaan Sunan Kalijaga dan Masjid Agung Demak melatari tersematnya sebutan itu. Potensi wisata religi terasa kental dan diangkat sebagai unggulan daerah ini. Ternyata, Demak juga sarat dengan kekayaan wisata pantai yang patut dijajal. Berada di jalur pantai utara Jawa, menjadikan wisata pantai yang dimiliki Demak wajib masuk daftar destinasi yang harus dikunjungi.
Salah satu pantai yang tersohor di Demak adalah Pantai Morosari Sayung. Yang menonjol dari tempat tersebut adalah keberadaan hutan mangrove yang berada di tengah laut. Masyarakat Indonesia terutama yang tinggal di daerah pesisir tentu mengenal pohon mangrove. Masyarakat kerap menyebutnya pohon payau atau bakau.
Pohon mangrove merupakan tumbuhan yang hidup di sekitar daerah rawa tropis dan subtropis. Di rawa-rawa dan air payau, pohon tersebut akan mudah dijumpai. Jadi, di pesisir pantai kawasan Indonesia, pohon mangrove akan tumbuh.
Namun, minimnya pengetahuan masyarakat tentang manfaat pohon mangrove dan cara pembudidayaannya membuat pohon mangrove semakin jarang ditemui. Pengalihan fungsi lahan mangrove menjadi tambak garam dan ikan, serta sebagai pembangunan gedung juga menyebabkan penurunan jumlah populasi pohon mangrove.
Keadaan yang memprihatinkan tersebut tidak dijumpai di Hutan Mangrove Morosari Sayung Demak. Diberi nama Hutan Mangrove Morosari lantaran hutan tersebut berlokasi di Dusun Morosari, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah.
Untuk menjangkau tempat itu, apabila dari arah Semarang arahkan kendaraan menuju Kabupaten Demak. Apabila telah berada di Jalan Raya Semarang-Demak km 9, fokuskan pandangan mata ke sebelah kiri hingga menemukan Jembatan Sayung. Lalu, belok kiri dan akan menjumpai gapura yang menandakan tempat yang kita tuju tidak jauh dari situ. Jarak yang harus dilalui sekitar satu kilometer ke arah laut (utara).
Sayup-sayup angin yang berhembus membelai raga. Gesekan dedaunan dari pohon yang tumbuh di tepi jalan menjadi penghibur sepanjang perjalanan. Pertanyaan tentang kapan tiba di hutan mangrove membersit di pikiran. Rasanya sudah tidak sabar lagi untuk berbaur dengan kemolekan hutan mangrove primadona Kabupaten Demak ini.
Pertama kali yang harus kita lakukan bila ingin mencapai kawasan hutan mangrove itu adalah mencari perahu motor yang biasa disewakan para warga di sekitar pantai. Tiket masuk pantai seharga Rp 7500. Selanjutnya, uang sebesar Rp 15 ribu harus kita bayarkan apabila ingin menjangkau hutan mangrove menggunakan perahu motor.
Jembatan kayu membelah hutan mangrove, menghiasi sepanjang jalan menuju lokasi. (Sumber foto).
Menumpang perahu motor yang dikemudikan dengan peralatan terbatas oleh warga akan menimbulkan decak kagum tersendiri. Warga terbiasa menjajakan jasa antar pelancong ke hutan mangrove tanpa dibekali standar keselamatan yang layak dan memadai.
Mereka dengan enteng dan tanpa ketakutan mengarungi lautan. Tidak ada pelampung yang melekat di tubuh mereka. Padahal, mereka meminjamkan jaket pelampung kepada penumpang perahu.
Ketika ditanya soal mengapa mereka seolah berani menantang ombak, mereka menjawab. Menurut mereka, alam tidak akan berbuat jahat selama manusianya tidak mengusik. Ditambahkan, laut sudah menyatu dengan hidup mereka sejak kecil. Filosofi luhur yang terus mereka pegang dan mereka wariskan kepada generasi di bawah mereka.
Memakan waktu kurang lebih 45 menit di atas perahu motor untuk bisa menjejakkan kaki di hutan itu. Bagi yang tidak tahan dengan goncangan yang timbul dari deburan ombak, disarankan untuk tidak banyak bergerak agar tidak mual dan muntah.
Ketakjuban juga muncul karena warga sangat lihai mengendalikan perahu tanpa dilengkapi alat navigasi dan pengetahuan tentang kondisi saat mengapung di lautan. Lagi-lagi mereka hanya mengandalkan insting. Hantaman ombak berhasil diterjang dan akhirnya tiba juga di hutan mangrove. Penatnya perjalanan terbayar.
Kita bisa menyusuri dan menyibak rimbunnya hutan mangrove ini dengan berjalan meniti jembatan kayu. Kesan eksotis menyeruak karena sinar mentari menimpa warna coklat di jembatan kayu ini. Tangan buru-buru meraih gawai berkamera untuk mengabadikan kemolekan huta ini. Menyesal rasanya jika melewatkan surga tersembunyi yang ada di Demak ini.
Sebelum memasuki kawasan hutan, kita akan disuguhi dengan pemandangan jembatan beton di tengah lautan. (Sumber foto).
Suasana hening berpadu dengan rasa syukur yang kita panjatkan karena berhasil menyesap sejuknya udara dari oksigen yang keluar dari hijaunya gugusan pohon bakau. Sahut-menyahut kicau burung bangau putih dan pelikan menghiasi sunyi dan birunya langit di atas hutan. Sesekali mata kita dibuat terpana dengan kehadiran burung-burung air yang terbang rendah dan hinggap di pepohonan untuk mencari makan.
Damai sekali bisa singgah di hutan ini. Hewan melata seperti ular kerap menyembul dari kubangan tempat akar mangrove menancap. Kala kepala mendongak ke atas, langit biru bersemburat jingga seakan mengadu dan memerintah kita untuk bertanggung jawab menjaga kelestarian hutan mangrove yang dijelajahi.
Kepakan sayap burung, decitan hewan-hewan yang bergumul di lumpur akar, para warga yang berburu buah mangrove yang jatuh, warga yang menggantungkan hidup dari jasa perahu antar, dan petugas retribusi tiket hanya segelintir makhluk hidup yang menaruh harapan besar dari manfaat hutan mangrove.
Tak hanya itu saja, pundi-pundi keuangan dan pamor daerah setempat juga terdongkrak dengan adanya hutan mangrove. Pengunjung yang silih berganti datang semakin menambah semarak kawasan pantai yang dulunya sering dicap kumuh itu.
Puas menelusuri jembatan di tengah hutan mangrove, kita diajak untuk melihat bukti ganasnya abrasi yang menyerang wilayah tersebut oleh pemandu yang merangkap sebagai pengemudi perahu motor. Untuk wisata pelengkap tersebut, kita akan dimintai biaya tambahan senilai Rp 20 ribu per perahu. Tarif tersebut tinggal dibagi dengan jumlah keseluruhan penumpang.
Pelan-pelan perahu membelah aliran air yang membatasi hutan mangrove. Tiba-tiba pemandu bersorak dan menunjuk ke tiang listrik yang berdiri condong kanan dengan kabel yang masih membentang. Bapak pemandu kemudian berkisah. Dahulu wilayah yang sekarang ditanami mangrove ini merupakan sebuah desa yang didiami ratusan orang.
Nasib warga yang tinggal di sana tidak menentu lantaran air laut akan menembus lantai rumah mereka. Meski lantai rumah terus ditinggikan setiap tahun, gempuran ombak jauh lebih dahsyat kekuatannya. Hingga rumah mereka terkepung dan tergerus air. Daripada bertahan, mereka memilih memboyong keluarga mereka untuk pindah ke daerah lain.
Di ujung hutan, terlihat makam Mbah Mudzakir berada di tengah laut, tergerus ganasnya abrasi. (Sumber foto).
Bata yang tersusun masih menempel di dinding rumah yang tenggelam, sumur yang menyisakan beton yang membalut melingkar, dan masjid yang bertengger dengan selasar yang hampir dipenuhi genangan air menjadi saksi betapa sulitnya kehidupan yang harus dialami warga di sana.
Semenjak kejadian abrasi yang merenggut kebahagiaan warga itu, banyak pihak yang mengulurkan bantuan. Kepedulian terus terbangun. Kesadaran tentang pentingnya menumbuhkan mangrove kian meningkat. Rumah-rumah kosong yang dibiarkan teronggok tak terurus ditinggalkan penghuninya mulai disulap menjadi hutan mangrove.
Masyarakat, pemerintah, dan pihak ketiga bahu-membahu memulihkan harapan yang sempat tumbang. Rimbunnya hutan mangrove saat ini adalah buah yang dituai dari usaha penggalakan penanaman.
Secercah asa dari pengunjung seolah membawa masa depan baru bagi warga yang sempat tersungkur dan terpuruk. Siapa bilang hutan mangrove hanya penghalang budidaya ikan yang dikelola di tambak? Warga Demak telah mereguk sejuta manfaat yang dipetik dari rimbunnya hutan mangrove. (Shela Kusumaningtyas).
No comments:
Post a Comment