Mereka bukan sekadar berwisata. Hari itu, komunitas penggiat mangrove KeSEMaT akan menggelar sebuah perayaan kemerdekaan yang tak biasa: upacara bendera di lumpur mangrove.
Sesaat sebelum upacara dimulai, para peserta harus menanam 80 bibit mangrove Rhizophora sp—angka yang diambil dari usia kemerdekaan Republik Indonesia. Setiap bibit ditancapkan di samping ajir bambu, diikat dengan rafia, agar kuat melawan gelombang. Lumpur setinggi betis hingga paha tak menyurutkan semangat mereka.
“Rasanya seperti latihan kesabaran,” celetuk seorang peserta sambil tertawa kecil ketika kakinya hampir terbenam. Namun tak lama kemudian, semua wajah kembali serius: Sang Merah Putih siap dikibarkan.
Di tengah lumpur, sebuah tiang bambu tegak berdiri. Begitu bendera merah putih perlahan naik, semua peserta berdiri tegak, sebagian dengan tubuh setengah terperosok. Tak ada yang peduli lumpur menempel di seragam. Saat itu, yang ada hanya rasa khidmat, haru, dan bangga.
“Ini pertama kalinya saya menjadi koordinator upacara di lumpur,” ujar Samsul Ma'arif, ketua pelaksana Mangrove Merdeka 2025 yang menjadi koordinator hari itu. “Berat untuk melangkah, tapi justru di situlah tantangannya. Ada rasa hormat yang berbeda, seolah-olah kami benar-benar berjuang agar bendera tetap tegak,” kisahnya.
Tawa di Balik Lumpur
Selepas prosesi yang penuh khidmat, suasana berubah cair. Tawa pecah saat lomba-lomba kemerdekaan dimulai. Ada estafet air dengan ember kecil yang harus dijalankan di atas lumpur, ada pula bisik kata yang kerap berakhir kacau karena suara peserta tertelan angin laut.
Peserta terjatuh, pakaian kotor, bahkan beberapa nyaris kehilangan sandal di lumpur. Namun justru di situlah letak keseruannya.
“Merayakan kemerdekaan tak harus kaku. Kami ingin menghadirkan sisi merdeka yang penuh keceriaan,” kata Rifky Hermawan, anggota KeSEMaT.
Nasionalisme yang Hidup di Alam
Di sela kegiatan, M. Faris Rahman, Presiden KeSEMaT, menyampaikan pesan penting: nasionalisme tidak berhenti pada simbol-simbol. Menurutnya, menanam mangrove juga adalah wujud mencintai tanah air.
“Mangrove melindungi pesisir dari abrasi, menyediakan habitat bagi berbagai biota, dan berperan dalam mitigasi perubahan iklim. Dengan menanamnya, kita sedang menjaga Indonesia,” jelasnya.
Pesan ini dipertegas oleh Agape Lista Anthoni, Pembina Upacara, “Para pahlawan dulu berjuang dengan senjata. Kita berjuang dengan cara yang berbeda—dengan ilmu, kepedulian, dan tindakan kecil yang bisa menyelamatkan masa depan bumi.”
Merdeka Itu Menyatu dengan Alam
Saat upacara ditutup dengan doa, angin laut bertiup membawa aroma asin bercampur lumpur. Bendera merah putih berkibar gagah di tengah hutan mangrove, seolah menyatu dengan akar-akar mangrove yang mencengkeram kuat tanah pesisir.
Ada rasa bangga yang sulit dijelaskan. Di tempat yang sering dianggap kotor dan sepele, justru lahir momen sakral penuh makna: merayakan kemerdekaan sekaligus menjaga bumi.
Hari itu, lumpur bukan penghalang, melainkan saksi. Bahwa menjadi merdeka berarti berani keluar dari zona nyaman, menjejak lumpur, menanam kehidupan, dan tetap tegak meski dalam kondisi sulit
Merdeka di lumpur, merdeka bersama mangrove. (ADM).
No comments:
Post a Comment