12.18.2015

Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan dan Terpadu Berbasis Masyarakat


Pengelolaan mangrove harus menempatkan masyarakat sebagai subyek, bukan obyeknya. (Sumber foto).

MANGROVEMAGZ. Negara Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 dan didukung oleh garis pantai kurang lebih 81.000 km, garis pantai yang panjang ini menunjukan bahwa negara ini memiliki sumber daya pesisir potensial, baik sumber daya hayati maupun sumber daya non hayati. Diantara beberapa sumber daya hayati itu, seperti hutan mangrove, perikanan, terumbu karang, dan lain sebagainya, sedangkan sumber non hayati seperti mineral dan bahan tambang.

Indonesia beruntung memiliki jutaan hektar hutan mangrove. Selain berfungsi ekologis sebagaimana hutan di daratan, mangrove memiliki keistimewaan lain karena posisinya yang berada di wilayah pencampuran antara daratan dan lautan.

Dengan posisi demikian, jenis fauna dan flora yang dimiliknya menjadi sangat beragam karena merupakan perpaduan antara jenis yang terdapat di kedua wilayah tersebut. Hutan mangrove terdiri dari dua suku kata yaitu hutan dan mangrove.

Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 1 Ayat (2) berbunyi “Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan”.

Arti kata mangrove digunakan untuk masyarakat tumbuh-tumbuhan (hidronese communities) dari beberapa spesies. Tumbuhan ini selalu hijau dan terdiri dari bermacam-macam campuran serta kebanyakan mempunyai akar napas (pneumatophores).

Mangrove adalah vegetasi yang tumbuh di antara garis pasang surut, tetapi vegetasi tersebut juga tumbuh di pantai karang, yaitu pada koral mati yang diatasnya ditimbuni selapis tipis pasir atau ditimbuni lumpur (R. Atmawidjaya, 1986), karena itu hutan mangrove disebut juga hutan pantai (coastal woodland) atau hutan pasang surut.

Hutan mangrove sering juga dianggap sebagai suatu ekosistem yang lain dan mempunyai ciri-ciri khusus, baik dari segi iklim, formasi tumbuhan maupun faktor edafis. Hutan mangrove memiliki kekayaan yang tak ternilai harganya. Nilai fisik didatangkan dari jenis pepohonan, hewan, dan tanaman lainnya yang bisa diambil kayunya, daging, buah-buahan hingga dedauanan yang berkhasiat untuk kesehatan, bahan pangan bagi manusia dan pakan bagi ternak.

Menurut Republika (2002) dan Ruitenbeek (1992) dalam Setyawan et al (2003a), Total Economic Value (TEV) ekosistem mangrove per tahun di Pulau Madura mencapai Rp 49 triliun, Irian Rp 329 triliun, Kalimantan Timur Rp 178 triliun, Jawa Barat 1,357 triliun. Sedangkan untuk seluruh Indonesia diperkirakan bernilai Rp 820 triliun.

Namun pengelolaan mangrove di Indonesia belum dilakukan secara berkelanjutan dan terpadu. Akibatnya terjadi kerusakan parah sehingga dalam waktu 11 tahun (1982 - 1993), Indonesia kehilangan 50% dari luasan 5.209.543 ha hutan mangrove pada tahun 1982.

Menurut Setyawan, et al (2003a), penurunan luasan hutan mangrove disebabkan oleh reklamasi untuk membangun tambak udang, ikan, garam, penebangan hutan, pertambangan, pencemaran, pembendungan sungai, pertanian, bencana alam serta tumpahan minyak. Hal inilah yang mendorong terjadinya instrusi air laut dan erosi pantai, sehingga menurunkan produkstivitas perairan pantai.

Kerusakan ekosistem hutan mangrove di pesisir Pulau Jawa misalnya, semakin cepat berlangsung seiring dengan bertambahnya usaha-usaha perekonomian yang lebih mengarah pada daerah pantai. Perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap daerah pesisir telah mengorbankan ribuan hektar kawasan mangrove sehingga banyak areal mangrove yang tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya.

Kerusakan ini sebagian besar disebabkan oleh tekanan manusia dalam memanfaatkan dan membabat mangrove untuk usaha pertambakan, perindustrian, pertanian, pemukiman, dan tempat rekreasi, serta sebagian kecil karena bencana alam (banjir, kekeringan, dan badai tsunami) serta serangan hama penyakit (Purnobasuki, 2005).

Jika kegiatan pembangunan terus dilakukan tanpa memperhatikan konsep berkelanjutan, maka Indonesia berpotensi kehilangan seluruh hutan mangrovenya. Maka dari itu, diperlukan suatu konsep pengelolaan hutan yang benar-benar bisa menjamin keberlangsungan hutan mangrove sehingga generasi yang akan datang bisa menikmati jasa lingkungan dari hutan rawa ini.


Penebangan mangrove terus terjadi di Indonesia yang mengakibatkan degradasi lingkungan di daerah pesisir. (Sumber foto).

Pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan mengacu kepada konsep pembangunan berkelanjutan, seperti termuat dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

Terlihat bahwa intinya berada pada integrasi tiga pilar konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial sehingga memberikan jaminan akan keberadaan mangrove untuk dinikmati bagi semua generasi di bumi.

Kementerian Kehutanan Republik Indonesia (2013) mengungkapkan bahwa lebih dari 50% hutan mangrove Indonesia dalam keadaan rusak dan ini menyebabkan merosotnya biodiversitas dan jasa lingkungan ekosistem mangrove akibat perubahan fungsi lahan sehingga meningkatkan risiko bencana.

Dari segi sosial ekonomi pengelolaan mangrove berkelanjutan menjadi sulit karena: (a) Perbedaaan pemahaman tentang nilai dan fungsi ekosisitem mangrove dan pentingnya upaya rehabilitasi; (b) Partisipasi masyarakat lokal belum optimal; (c) Sebagian besar masyrakat di sekitar ekosistem mangrove tergolong miskin; (d) Kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove ramah lingkungan belum berkembang dan (e) Pertumbuhan penduduk tinggi dan aktivitas ekonomi memicu alih fungsi lahan.

Pengelolaan hutan mangrove di Indonesia saat ini diarahkan kepada rehabilitasi karena banyaknya kawasan yang rusak sehingga jika kegiatan tersebut berhasil, diharapkan dapat mengembalikan fungsi ekologisnya untuk menyediakan jasa lingkungan bagi masyarakat sekitarnya dan bagi masyarakat yang berada di luar kawasan tersebut. Namun, kegiatan rehabilitasi tersebut tidak bisa mengabaikan isu-isu ekonomi dan sosial terkait kehadiran masyarakat di sekitarnya.

Pengelolaan sumber daya kelautan berbasis masyarakat merupakan salah satu strategi pengelolaan yang dapat meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam.

Selain itu, strategi ini dapat membawa efek positif secara ekologi dan sosial. Pengelolaan sumber daya alam, khususnya sumber daya kelautan berbasis komunitas lokal sangatlah tepat diterapkan di Indonesia, selain karena efeknya yang positif juga mengingat komunitas lokal di Indonesia memiliki keterikatan yang kuat dengan daerahnya sehingga pengelolaan yang dilakukan akan diusahakan demi kebaikan daerahnya dan tidak sebaliknya.

Berangkat dari asumsi bahwa laut tidak semata merupakan sebuah sistem ekologi, tetapi juga sistem sosial. Karena itu, pengembangan kelautan dengan memperhatikan sistem ekologi-sosial mereka yang khas menjadi penting.

Kuatnya institusi lokal di pesisir merupakan pilar bangsa bahari. Bila mereka berdaya, aturan lokal mereka bisa melengkapi kekuatan hukum formal, mereka bisa menjadi pengawas laut yang efektif, menjadi pengelola perikanan lokal karena didukung pengetahuan lokal (traditional ecological knowledge), serta pendorong tumbuhnya ekonomi pesisir.

Melibatkan masyarakat dalam pengelolaan mangrove sangat penting karena dapat menjadi faktor sukses dari pengelolaan itu sendiri, sebagaimana terbukti pada beberapa kegiatan rehabilitasi mangrove di daerah Sinjai Sulawesi Selatan dan Aceh. Pelibatan masyarakat juga dilakukan di banyak negara, seperti Vietnam dan Bangladesh.


Para relawan Kabupaten Sinjai melakukan penanaman mangrove di pesisir Kelurahan Lappa. (Sumber foto).

Pelibatan masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan ekosistem hutan mangrove merupakan langkah strategis dan tepat, selain karena pertimbangan di atas, juga mengingat begitu banyak dan luas pulau-pulau kecil di Indonesia yang sulit diawasi oleh aparat, karena ketebatasan personil dan peralatan.

Selain itu, dengan modal pengembangan pengelolaan ekosistem hutan mangrove berbasis masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat akan arti perlindungan sumber daya laut yang sangat berarti bagi kehidupan masyarakat saat ini dan generasi yang akan datang.

Tanpa peran serta masyarakat dalam setiap kebijakan pemerintah, tujuan ditetapkannya kebijakan tersebut sulit dicapai. Oleh sebab itu, untuk mencegah kerusakan yang lebih parah terhadap sumber daya laut di Indonesia, upaya menumbuhkembangkan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan dan pengawasan kebijakan tersebut harus selalu dilakukan.

Menurut Kementrian Kehutanan (2013) menyebutkan pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat merupakan bagian dari kebijakan Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove guna meningkatkan pendapatan masyarakat dan mendukung pembangunan yang berkelaanjutan.

Pengelolaan mangrove harus mengikuti azas: (1) Transparansi, yaitu bisa diakses oleh semua pihak untuk ditinjau ulang; (2) Partisipatif, yaitu mengakomodasi semua komitmen stakeholders dan dapat diterapkan secara partisipatif; (3) Akuntabilitas, yaitu disosialisasikan kepada publik dan dikaji secara menyeluruh, ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan; (4) Responsif, yaitu mampu mengantisipasi perubahan komitmen lokal, nasional, dan global terhadap ekosistem mangrove; (5) Efisien, yaitu mempunyai kemampuan untuk menyerasikan kebijakan (pusat dan daerah) secara harmonis; (6) Efektif, yaitu dapat dilaksanakan tepat sasaran oleh para pihak baik pemangku kepentingan maupun masyarakat; dan (7) Berkeadilan, yaitu mampu memberikan manfaat sesuai dengan tanggung jawab masing-masing pihak yang terlibat.


Menteri KKP, Susi Pudjiastuti saat meninjau mangrove di Sinjai. Pemerintah juga memberikan dukungannya bagi pelestarian mangrove di Indonesia. (Sumber foto).

Faktor lain yang penting diperhatikan dalam pengelolaan mangrove berkelanjutan adalah pengakuan terhadap masyarakat adat dan kearifan lokal yang dimilikinya. Menurut UU Nomor 32/2009, nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat perlu dihidupkan kembali guna melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.

Pengelolaan mangrove secara berkelanjutan dan terpadu bertujuan untuk menjamin keberadaan mangrove lestari yang dapat dinikmati oleh semua generasi dan mengintegrasikan perencanaan hulu, hilir dan kepentingan seluruh stakeholders.

Pengelolaan ini bukan semata berorientasi ekologis, namun harus memperhatikan aspek sosial dan ekonomi karena menyangkut manusia yang hidup di sekitarnya yang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan sosial dan ekonomi tersebut.

Pengalaman masa lalu menunjukan kerusakan mangrove tidak dapat dipisahkan dari aktivitas masyarakat di sekitarnya. Paradigma lama yang bersifat top-down terbukti tidak berhasil, bahkan memicu kerusakan lebih luas karena kurang mempedulikan kesejahteraan masyarakat sekitar.

Jika masyarakatnya tidak sejahtera, maka mangrove berpotensi untuk rusak lebih cepat. Guna meningkatkan kepedulian masyarakat untuk menjaga mangrove, Kementerian Kehutanan perlu mengembangkan pengelolaan mangrove berbasis masyarakat sebagai strategi nasional pengelolaan hutan mangrove. (Ghoffar Albab Maarif).

DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Kehutanan RI. 2013. Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove Indonesia. Jakarta: Kementrian Kehutanan RI.

Purnobasuki, H. 2005. Tinjauan Perspektif Hutan Mangrove. Penerbit Airlangga University Press. Surabaya.

Setyawan AD, Winarno K dan Purin CP. 2003b. Ekosisitem Mangrove di Jawa: Restorasi. Jurnal Biodiversitas Vol. 4 (2).

Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment