5.16.2015

Hancur di Dalam, Bagus di Luar

 

Suasana dermaga di Pangkahwetan. 

MANGROVEMAGZ. Sedih saat melihat banyak hutan mangrove yang dirusak. Sedih juga saat melihat banyak orang tak peduli dengan mangrove lagi. Lebih sedih lagi saat banyak mangrove tumbang, bukan karena ulah gelombang, melainkan karena ulah manusia yang kejam.

Gambaran ini saya dapat ketika berkesempatan mengunjungi dan melihat langsung kondisi mangrove di Desa Pangkahwetan, Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.

Bagi yang belum pernah berkunjung melihat mangrove di Gresik, khususnya Pangkahwetan, tentu artikel ini bisa memberikan informasi mengenai kondisi ekosistem mangrove di kota yang terkenal dengan semen-nya ini. Simak, ya!

Perjalanan ini saya mulai dari dermaga Pangkahwetan yang banyak digunakan untuk “parkir” perahu nelayan. Dermaga ini langsung bersinggungan dengan sungai Bengawan Solo. Iya, sungai yang dilagukan oleh Gesang dengan judul “Bengawan Solo” ini juga bermuara di pesisir Gresik, dengan lebar sungai mencapai kurang lebih 50 m.

Nah, untuk melihat kondisi mangrove yang berada di sisi sungai hingga muara, bisa dengan menyewa perahu nelayan yang sedang bersandar untuk menanti waktu melaut tiba.

Sejatinya, perahu yang ada memang khusus untuk menangkap ikan dan rajungan, namun saya bisa menyewanya untuk mengantar saya berkeliling melihat kondisi mangrove dengan harga sewa Rp.300.000,- sekali trip.

Perjalanan saya ditemani oleh pemilik perahu dan Wachid, salah satu pemuda desa yang peduli dengan keberlangsungan mangrove di desanya.

Saya mulai “lepas landas” dari dermaga tepat pukul 13.00 siang dan untungnya cuaca mendung mendampingi perjalanan kami sehingga tak terlalu terik. Dalam perjalanan, sesekali kami berpapasan dengan nelayan lain yang baru saja pulang mengais rejeki di atas perahu.


Usai mendapatkan hasil, nelayan pun pulang dan berpapasan dengan perahu yang saya tumpangi.

Sembari mengobrol, sembari juga melihat-lihat kondisi mangrove di sepanjang sungai yang saya lalui, saya bisa menyimpulkan bahwa secara umum kondisi mangrove di Pangkahwetan didominasi oleh jenis Avicennia spp dan Sonneratia spp.

Selain itu, mangrove yang tumbuh juga dimanfaatkan sebagai tempat mencari makan dan berkembang biak oleh Kuntul.


Hamparan mangrove yang didominasi oleh Avicennia spp dan Sonneratia spp di sepanjang sisi sungai Bengawan Solo. 

Saat Kuntul dapat memanfaatkan mangrove dengan bijak, tidak dengan manusia. Kenapa demikian? Oknum warga setempat mengorbankan pohon mangrove demi membuka area pertambakan.

Selama perjalanan, saya menemukan penampakan pohon mangrove yang jarang saya temui. Unik, ada pohon mangrove yang diselimuti benalu hingga seluruh bagiannya dari atas sampai bawah tertutup olehnya.

Dari kejauhan, jujur saja mangrove ini nampak indah karena didukung oleh cahaya matahari yang menyinari kerumunan benalunya.


Kondisi mangrove yang terselimuti oleh benalu. Keren, sih. Tapi, kasihan mangrovenya

Namun, tentu saja keindahan ini palsu karena benalu ini pastinya mengganggu pertumbuhan mangrove yang ditutupinya.

Saat baru lepas dari dermaga, saya sudah disuguhi kerumunan mangrove yang lebat, seolah memaksa mata saya agar hanya melihat hijaunya daun-daun mangrove dan kelompok burungnya yang sedang asyik mencari makan di sisi sungai.

Setelah kurang lebih 30 menit berlalu, sampailah saya pada satu kawasan mangrove. Nampak jelas dihadapan saya, mangrove yang (menurut saya) kurang lebih berumur 8 tahun, telah ditebang. Oleh siapa? Tentu oleh oknum manusia. Untuk apa? Iyap, benar sekali, untuk lahan pertambakan.

Di lokasi ini, saya meminta perahu agar berhenti sejenak untuk mengamati pohon mangrove yang baru saja ditebang.


Kondisi mangrove yang ditebang untuk area pertambakan.

Saya diam, merenung, hanya menatap dan menghela nafas. Dibalik mangrove yang lebat, ternyata gersang didalamnya, karena rusak ditebang.

“Lahan di sini semua sudah milik pribadi, Mas. Kalau pemilik lahannya ingin membuat area pertambakan, ya, tinggal tebang aja, Mas. Lha wong, lahan-lahannya dia sendiri,” jelas Wachid dengan nada pelan, sambil menunjuk kearah mangrove yang ditebang, “kayu yang ditebang itu, nanti juga dijual sama pemiliknya, Mas. Lumayan buat kayu bakar,” tambahnya.

Tentu ini menjadi polemik tersendiri. Bagi saya, merusak mangrove apalagi dengan cara menebangnya sangatlah tidak patut dilakukan. Namun, bagi pemilik lahan, mungkin harus dilakukan. Meskipun dengan alasan mengais penghasilan dari tambak yang dikembangkannya, tetap saja saya tidak bisa menerimanya.

Pemerintah harus turut andil dalam kejadian ini. Menebang mangrove seluas kurang lebih empat kali lapangan basket ini mungkin tidak seberapa dibanding dengan luasan mangrove yang ada di Indonesia.

Tapi, jika hal kecil seperti ini dibiarkan dan tidak dianggap sesuatu yang serius, bisa jadi sepuluh tahun dari sekarang, mangrove di Pangkahwetan akan sama nasibnya dengan Timbul Sloko dan Morosari, Demak.

Usai melihat kondisi mangrove yang telah ditebang, saya melanjutkan perjalanan pulang. Dalam perjalanan, saya diajak memutar sungai. Kali ini, saya kembali menemui mangrove dengan kondisi yang unik.

Hampir sama dengan sebelumnya, diselimuti oleh benalu, tapi, yang ini menjulang tinggi layaknya mercusuar yang ada di pinggir pantai.


Benalu mangrove. Bakal jadi icon mangrove Pangkahwetan (?) 

Dikarenakan jaraknya lumayan jauh dari perahu yang saya naiki, saya tidak dapat memastikan jenis pohon apa yang ada didalamnya. Mangrovekah, atau hanya tumbuhan pesisir. Setelah melewati “Mercusuar Mangrove” dan mendokumentasikannya, saya kembali ke dermaga.

Senang rasanya bisa melihat keindahan mangrove di lokasi ini. Disisi lain, saya juga merasa sedih ketika keindahan yang tergambarkan terganggu oleh oknum penebang mangrove yang hanya memikirkan kepentingan pribadinya.

Semoga ini menjadi pelajaran bagi kita semua, jangan sampai keindahan mangrove yang telah dimiliki oleh tanah air kita hilang begitu saja oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

Nah, itu tadi pengalaman mangroving saya di Pangkahwetan. Bagi Anda yang pernah melihat kerusakan mangrove yang diakibatkan oleh ulah manusia, silahkan share di kolom komentar, ya! (Rohmat Kuslarsono).

No comments:

Post a Comment