7.28.2016

Mengelola Mangrove Sebagai Sumber Penghidupan


Masyarakat Kepulauan Tanakeke sedang menggali saluran air pasang surut untuk mengurangi tingkat penggenangan didalam tambak dan memperbaiki saluran alami di kawasan tambak terlantar. (Foto: Yusran Nurdin Massa).

MANGROVEMAGZ. Dalam rangka Peringatan International Mangrove Day - International Day for the Conservation of the Mangrove Ecosystem, Daeng Haru bersama sekitar 150 orang masyarakat Balangdatu menebarkan beragam bibit mangrove di lahan tambak terlantar (26/7). Sejumlah 727.000 bibit/propagule mangrove disebarkan di lahan seluas 136 ha di desa Balangdatu, Kepulauan Tanakeke.

Jenis bibit yang disebarkan adalah Bruguiera sp, Avicennia sp, Ceriops sp, Camptostemon sp, Sonneratia sp dan Rhizophora sp. Daeng Haru berharap mangrove yang beragam kembali tumbuh di desanya.

Kalo sudah rimbun, nanti ikan dan kepiting semakin banyak, kita bisa terus mengambil kayu untuk memasak, bikin arang, patok rumput laut atau memperbaiki rumah. Tapi kami mau mangrovenya tetap terjaga, ikan-ikan dan kepiting juga tetap melimpah. Kami sedang belajar bagaimana caranya agar dimanfaatkan dan tetap lestari. Salah satunya adalah dengan menjaga wilayah yang tetap dilindungi tanpa dimanfaatkan kayunya dan melakukan tebang pilih di wilayah tertentu,” ujarnya.

Kegiatan ini merupakan rangkaian peringatan International Mangrove Day. Acara ini dikemas dalam Mangrove Biodiversity Revive berupa pengkayaan keanekaragaman jenis mangrove di Kepulauan Tanakeke.

Tema yang diangkat dalam perayaan tahun ini adalah Future Mangrove: from Grey to Green. Masyarakat Tanakeke termasuk pelajar SD dan SMP menebar delapan spesies mangrove di kawasan rehabilitasi.

Sebelumnya, sejak tahun lalu telah dilakukan pembenahan hidrologi normal di tambak-tambak terlantar ini untuk memudahkan mangrove tumbuh secara alami.

Masyarakat membuat saluran air pasang surut membelah petakan tambak terlantar. Juga dibuat pintu-pintu air di pematang tambak untuk mengembalikan saluran air alami, seperti ketika lahan ini sebelumnya ditumbuhi mangrove.

Sejak tahun 2011, secara total 532 ha tambak terlantar telah direhabilitasi masyarakat Tanakeke bersama beberapa pihak untuk mengembalikan ekosistem mangrove mereka yang hilang. Lokasi berada di Lantangpeo, Tompotanah, Rewatayya, Balangdatu Pesisir, Bangkotinggia, Dandedandere dan Balangdatu.



Pertumbuhan alami beberapa anakan mangrove di lahan tambak terlambat setelah pembenahan hidrologi selama kurang lebih dua tahun. (Foto: Yusran Nurdin Massa).

Lahan ini adalah lokasi Ecological Mangrove Rehabilitation. Metodenya berbeda dengan kelaziman rehabilitasi mangrove di Indonesia. Metode yang digunakan disebut Ecological Mangrove Rehabilitation (EMR).

Metode ini mendorong pertumbuhan alami ekosistem mangrove di lahan terdegradasi dengan mengedepankan pembenahan hidrologi yang menghambat pertumbuhan dan menyiapkan lahan yang sesuai untuk pertumbuhan mangrove.

Pertumbuhan alami mangrove menunjukkan hasil yang menggembirakan. Contohnya di situs rehabilitasi mangrove dusun Lantangpeo.

Hasil monitoring partisipatif dan scientific tiga tahun sejak pekerjaan rehabilitasi dilakukan menunjukkan kondisi pertumbuhan bibit yang telah melebihi kriteria keberhasilan yaitu rata-rata 2.171 bibit per ha.

Dibanyak lokasi di Indonesia, niat baik rehabilitasi mangrove di Indonesia ternyata masih menemui kendala. Sejak tragedi tsunami Aceh dan pantai Selatan Jawa, Indonesia (bahkan dunia) “terjaga” dan mulai serius mengembangkan upaya mitigasi bencana tsunami.

Mangrove mulai dilirik dan dianggap cukup strategis. Sayangnya, luas hutan mangrove di Indonesia semakin berkurang, jika pada 1982, hutan mangrove seluas 4,2 juta ha, kini tersisa 3,7 juta ha lebih.

Di Sulawesi Selatan, luas mangrove sebelum tahun 80-an yaitu 214.000 ha menurun menjadi hanya 23.000 ha pada tahun 1991.

Penyusutan ini antara lain karena konversi lahan menjadi tambak, penggunaan kayu mangrove untuk bahan industri, kayu bakar dan reklamasi pantai yang makin marak. Banyak pihak kemudian terlibat dalam upaya mengembalikan mangrove di sabuk hijau pesisir pantai untuk tujuan ini.

Setiap tahunnya, banyak pihak melakukan kegiatan rehabilitasi mangrove dan berharap dapat mengembalikan ekosistem mangrove yang hilang atau menambah “sabuk hijau”. Namun belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Tingkat keberhasilan rehabilitasi mangrove di Indonesia dan asia pasifik masih sangat rendah. Roy Robin Lewis; praktisi mangrove dunia dari Mangrove Action Project merilis temuannya bahwa 90% project restorasi mangrove tidak mencapai tujuan restorasi.

Sebagian besar kegagalan rehabilitasi disebabkan oleh lahan rehabilitasi bukan merupakan habitat mangrove sebelumnya, terutama di luar sabuk hijau. Juga faktor penghambat pertumbuhan alami tidak dikaji dengan baik. Terlalu fokus pada upaya pembibitan dan penanaman.

Perlu pengkajian mendalam terhadap kelayakan lokasi rehabilitasi agar niat baik rehabilitasi dan anggaran yang digunakan tidak mubasir karena berhasil mencapai tujuan rehabilitasi, yaitu mangrove tumbuh dengan baik.

Mangrove Biodiversity Revive ini adalah rangkaian peringatan International Mangrove Day yang jatuh pada tanggal 26 Juli setiap tahunnya. Tema yang diangkat untuk perayaan tahun ini adalah Future Mangrove: from Grey to Green.

Tema ini diangkat untuk mendorong upaya rehabilitasi mangrove di kawasan yang sebelumnya adalah habitat mangrove. Kegiatan lainnya adalah mengajak blogger dan fotografer untuk mengunjungi Pulau Panikiang, Barru dalam kegiatan Education Trip.

Mereka berdiskusi tentang perubahan iklim, mendokumentasikan kondisi hutan mangrove, potensi wisata dan penghidupan masyarakat di Pulau Panikiang. Selanjutnya mereka diharapkan menginspirasi banyak orang untuk melakukan aksi nyata pelestarian mangrove melalui foto dan tulisan di blog yang menggugah.

Nonton Bareng Film tentang kita juga dilakukan untuk mengajak masyarakat terutama kalangan muda untuk menonton film bertema lingkungan. Video ini adalah buah karya pelajar SD dan SMP di Tanakeke yang mengangkat isu lingkungan di sekitarnya.

International Mangrove Day dijadikan momentum bagi banyak pihak dalam satu dekade terakhir untuk melakukan aksi dan menyuarakan kampanye terkait pentingnya pelestarian dan perbaikan pengelolaan ekosistem mangrove di dunia.

Hingga akhirnya UNESCO secara resmi menetapkan tanggal 26 Juli 2016 sebagai International Mangrove Day dalam sebuah dokumen “Proclamation of the International Day for the Conservation of the Mangrove Ecosystem” pada November tahun 2015.

Momentum peringatan International Day for the Conservation of the Mangrove Ecosystem atau Hari Mangrove Sedunia ini diharapkan mengajak kita untuk merefleksikan tata kelola ekosistem mangrove di Indonesia.

Pembenahan dan perbaikan pengelolaan perlu didorong melalui sejumlah kebijakan strategis dan operasional serta aksi nyata agar ekosistem mangrove dapat pulih kembali, tetap terjaga dan menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat kita.

Untuk itu, Blue Forests dalam momentum ini menyuarakan beberapa rekomendasi strategis untuk perbaikan tata kelola mangrove di Indonesia antara lain:

1. Moratorium konversi mangrove menjadi peruntukan lain.
Dalam tiga dekade terakhir, Indonesia kehilangan 40% mangrovenya dan adalah negara dengan kecepatan kerusakan mangrove terbesar di dunia.

Data CIFOR menunjukkan deforestasi mangrove di Indonesia mengakibatkan hilangnya 190 juta metrik ton CO2 setara tiap tahun (eqanually).

Angka ini menyumbang 20% emisi penggunaan lahan di Indonesia (Murdiyarso et al., 2015) dengan estimasi emisi sebesar 700 juta metrik ton CO2 – eq (Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, 2010).

Kita tidak ingin ekosistem mangrove kita hilang dan status sebagai negara dengan mangrove terluas yaitu sebesar 22,6% hilang.

2. Perbaikan tata kelola kawasan konservasi mangrove secara berkelanjutan seperti Taman Nasional, Cagar Alam, maupun Suaka Margasatwa untuk fungsi pelestarian kawasan tetap berjalan.
Kerusakan ekosistem mangrove tidak hanya terjadi di luar kawasan perlindungan. Nyatanya beberapa kawasan lindung mengalami degradasi yang parah.

Contohnya Cagar Alam Tanjung Panjang yang luasannya menyusut drastis dari 3.000 ha hutan mangrove tersisa 500 ha saja dalam kurun waktu 1 dekade. Ini dipicu oleh pembukaan lahan tambak besar-besaran.

Setali tiga uang, Suaka Margasatwa Mampie di Polewali Mandar mengalami hal yang sama.

3. Program konservasi, rehabilitasi dan pengelolaan mangrove harus berbasis masyarakat.
Banyak bukti memperlihatkan bahwa jika program pengelolaan mangrove menempatkan masyarakat sebagai pihak yang tidak memiliki “kuasa” baik sejak perencanaan maupun pengelolaan dapat bermuara pada tidak efektifnya pengelolaan malah cenderung gagal.

4. Rehabilitasi kembali lahan tambak yang terlantar dan tidak produktif menjadi hutan mangrove mengingat kehilangan mangrove di Indonesia sebagian besar disebabkan konversi menjadi tambak.

5. Perbaikan perencanaan dan pelaksanaan rehabilitasi mangrove di Indonesia untuk menunjang keberhasilan rehabilitasi.
Banyak niat baik dan aksi rehabilitasi dilakukan sia-sia karena dilakukan dilahan yang tidak sesuai serta tidak didukung oleh pengetahuan dan teknis rehabilitasi yang tepat.

6. Penguatan dan pemberdayaan pembudidaya tambak menuju tata kelola budidaya berkelanjutan. 

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

1. Yusran Nurdin Massa: 081355203030; yusran@blue-forests.org
2. Akhzan Nur Iman: 0853 9540 4862; akhzan@blue-forests.org
3. Laila Adila: 0822 9261 2000; 0878 8088 2057; laila.adila03@gmail.com
4. Rieski Kurniasari: 0852 4244 7870; rieski@blue-forests.org

(Yusran Nurdin Massa).

No comments:

Post a Comment