7.10.2015

Reklamasi dalam Kaitannya dengan Ekosistem Pesisir dan Penghidupan Masyarakatnya


Tahukah Anda, Pantai Losari adalah hasil reklamasi. (Sumber foto). 

MANGROVEMAGZ. Siang itu (2/7/15), di Ruang Baltimore, salah satu hotel di Semarang, saya dipertemukan dengan Prof. Dr. Ir. Dietriecht G. Bengen, DEA, salah satu guru besar di Institut Pertanian Bogor dalam bidang Ekosistem Pesisir dan Laut. Duduk bersama dengan kurang lebih 50 petugas aparatur negara lainnya dari berbagai bidang, NGO, dan para aktivis lingkungan, saya mendengarkan paparan pria asal Bugis yang lahir di Papua ini.

Bengen menjelaskan mengenai pengaruh reklamasi terhadap ekosistem pesisir. Mendengarkan paparannya, saya jadi teringat akan hashtag #BaliTolakReklamasi di Twitter. Kegiatan reklamasi di Teluk Benoa, Bali yang ditentang oleh berbagai pihak.

Dalam paparannya, Bengen menjelaskan bahwa bahwa reklamasi memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap ekosistem pesisir di dalamnya. Reklamasi memang sebaiknya dilakukan di pantai yang sudah “rusak”. Rusak dalam arti pantai yang sudah kotor, tidak terjaga, dan buruk tata ruangnya, seperti Pantai Losari di Makassar.

Dari penjelasan ini, saya jadi tahu bahwa lapangan di bibir pantai dengan tulisan “Pantai Losari” yang sangat besar dan terkenal itu adalah hasil dari reklamasi pantai yang sudah “rusak”.

Disampaikan oleh Prof. Dietriech bahwa salah satu ancaman ekosistem pesisir selain konversi hutan mangrove, sedimentasi, abrasi, dan pencemaran, yaitu reklamasi.

Dalam Bab 1 Pasal 1 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 17/Permen-KP/2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dijelaskan bahwa reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.

Di dalam pengertian tersebut, reklamasi seyogyanya dilakukan untuk meningkatkan nilai plus dari suatu sumber daya lahan.

Kemudian, apabila reklamasi dilakukan di atas sumber daya lahan yang berkondisi baik, maka dampak ekologi yang terjadi adalah terjadinya perubahan struktur ekosistem, sehingga berakibat pada menurunnya fungsi ekologis dan keanekaragaman hayati yang dapat berdampak pada turunnya fungsi daerah pemijahan, pengasuhan dan mencari makanan, perubahan salinitas akibat pengalihan atau penurunan aliran dan limpasan air tawar dan air laut, serta kematian vegetasi mangrove, terumbu karang, dan padang lamun akibat terlapisinya atau tertutupnya pneumatophora (lentisel) mangrove oleh bahan pencemar padat.


"Saya akan berada di garis depan, jika ada suatu kegiatan yang mengakibatkan kerusakan mangrove," ujar Prof. Bengen. (Foto: Annisa Pertiwi).

Selanjutnya, disampaikan pula oleh Ir. Ismail, M. SiP dari Universitas Diponegoro mengenai Pengaruh Kegiatan Reklamasi terhadap Kehidupan dan Penghidupan Nelayan. Dijelaskan dalam Permen-KP, Bab, dan Pasal yang sama seperti pengertian reklamasi, bahwa kehidupan adalah ciri yang membedakan obyek yang memiliki isyarat dan proses penopang diri (organisme hidup) dengan obyek yang tidak memilikinya (benda mati), baik karena fungsi-fungsi tersebut telah mati atau karena obyek (benda mati) tidak memiliki fungsi tersebut dan diklasifikasikan sebagai benda mati dan penghidupan yang diartikan sebagai aktivitas dimana akses atas aset atau modal (alam, manusia, finansial, sosial, dan fisik) yang dimediasi oleh kelembagaan dan relasi sosial yang secara bersama mempengaruhi hasil yang diperoleh oleh individu maupun keluarga.

Berikutnya, dijelaskan pula dalam Bab VI Pasal 30 Bagian Kesatu Ayat 2 bahwa keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat ialah memberikan akses kepada masyarakat menuju pantai, mempertahankan mata pencaharian penduduk sebagai nelayan, pembudidaya ikan, dan usaha kelautan dan perikanan lainnya, memberikan kompensasi/ganti kerugian kepada masyarakat sekitar yang terkena dampak reklamasi, serta memberdayakan masyarakat sekitar yang terkena dampak reklamasi.

Acara ini, tentu saja tidak dihadiri oleh Prof. Dietrich dan Ir. Ismail, M,Si. saja, namun juga dihadiri oleh Ir. M. Eko Rudianto, M. Bus. IT yaitu Direktur Pesisir dan Lautan dari Ditjen KP3K yang memberikan paparan mengenai Kebijakan Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Prof. Dr. Ir. Herman Wahyudi Guru Besar Geoteknik dan Staf Pengajar dalam Mekanika Tanah dan Pondasi Institus Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya yang memberikan paparan mengenai Metode dan Teknik Reklamasi Berwawasan Lingkungan.


"Kegiatan reklamasi berpengaruh terhadap penghidupan nelayan," jelas Ismail. (Foto: Annisa Pertiwi). 

Acara “Bimbingan Teknis Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil” ini disambut cukup baik dengan banyaknya pertanyaan dari peserta baik di dalam forum diskusi maupun di luar forum diskusi.

“Bagaimana cara mengubah paradigma masyarakat, benarkah reklamasi adalah hal yang tidak negatif?,” salah satu pertanyaan yang diajukan oleh Dirut Yayasan IKAMaT, yaitu Muhammad Faisal, kepada Bengen.

Jika mengingat ke masa lampau, kegiatan reklamasi pantai di Semarang sendiri, khususnya Pantai Marina sudah terjadi cukup lama, yakni sejak pemerintahan kolonial Belanda yang dilakukan pada tahun 1875 untuk pembangunan Pelabuhan Tanjung Mas.


Reklamasi pantai menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. (Sumber foto).

Setelah Indonesia merdeka, lebih dari lima kali terjadi kegiatan reklamasi di wilayah pantai utara Semarang, yakni:
(1) tahun 1979 dilakukan reklamasi yang sekarang ini digunakan untuk kawasan perumahan Tanah Mas.
(2) tahun 1980 reklamasi untuk perluasan Pelabuhan Tanjung Mas.
(3) tahun 1981 terjadi pelaksanaan reklamasi dalam bentuk penimbunan yang dilakukan oleh PT. Tanah Mas di daerah Panggung Lor dan Panggung Kidul, Kec. Semarang Utara.
(4) tahun 1985 reklamasi untuk kawasan PRPP, Perumahan Puri Anjasmoro, dan Kawasan Semarang Indah.
(5) tahun 2004, yaitu kegiatan reklamasi Pantai Marina yang dilakukan oleh PT. Indo Perkasa Usahatama.

Selanjutnya, yang baru-baru ini terjadi, yaitu reklamasi Pantai Marina hingga Pantai Maron yang dilakukan untuk pengembangan kota (Kalalo, 2009).

Tentunya, kegiatan pada hari ini tidak hanya mempertemukan saya dengan Prof. Dietriech, namun juga menambah khazanah keilmuan mengenai reklamasi pantai dan dampaknya terhadap ekosistem pesisir dan kehidupan serta penghidupan masyarakat.

Sebuah harapan muncul dari salah satu peserta, yaitu Mega Anggraini, Asisten Program Inventarisasi Efek Rumah Kaca di salah satu yayasan dalam bidang lingkungan di Semarang, yang berharap bahwa semoga kegiatan reklamasi yang dilakukan di Kota Semarang saat ini tidak merusak ekosistem pesisir di dalamnya dan hak-hak masyarakat pesisir terutama nelayan dapat terpenuhi dengan baik. (Annisa Pertiwi).

No comments:

Post a Comment