Di utara Kabupaten Subang, Jawa Barat, situasi ini menjadi nyata. Wilayah yang dulunya
hijau oleh tegakan mangrove kini sebagian besar telah berubah wajah. Tambak-tambak udang,
lahan pertanian, dan area pemukiman menggantikan hutan mangrove yang pernah berdiri tegak.
Perubahan ini tidak lepas dari kebutuhan ekonomi masyarakat setempat yang mendesak,
sekaligus minimnya pemahaman tentang pentingnya menjaga keberlanjutan ekosistem pesisir.
Dalam jangka pendek, alih fungsi lahan mungkin dianggap solusi untuk meningkatkan
pendapatan. Namun, dalam jangka panjang, kerugian ekologis dan sosial tidak bisa dihindari.
Banjir rob, penurunan hasil tangkapan ikan, hingga kerusakan habitat menjadi harga mahal yang
harus dibayar.
Alih fungsi lahan di pesisir Subang, terutama dilakukan tanpa memperhatikan daya
dukung dan daya tampung lingkungan. Padahal, mangrove memiliki kemampuan unik dalam
menstabilkan pantai, memfilter air, serta menjadi tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai
spesies ikan, udang, dan kepiting. Ketika mangrove hilang, ekosistem pesisir menjadi rapuh, dan
masyarakat pesisir akan paling pertama merasakan dampaknya.
Meski demikian, tidak semua kisah di pesisir Subang berujung pada kehancuran. Ada
titik terang yang muncul di tengah kegelapan. Di sejumlah lokasi penelitian, ditemukan area di
mana mangrove tidak hanya bertahan, tapi juga menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang
menjanjikan.
Rehabilitasi mangrove yang dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat dan
pemerintah daerah telah memberikan hasil positif. Spesies Rhizophora sp., salah satu jenis
mangrove yang paling umum digunakan dalam rehabilitasi, terlihat mulai mendominasi kembali
sejumlah kawasan yang sebelumnya gundul.
Keberhasilan rehabilitasi ini tidak terjadi secara kebetulan. Perlu ada pendekatan yang
tepat, konsistensi, serta kerja sama antara masyarakat lokal, LSM, akademisi, dan pemerintah.
Salah satu kunci keberhasilan rehabilitasi mangrove adalah keterlibatan masyarakat. Ketika
masyarakat pesisir mulai menyadari bahwa keberadaan mangrove tidak hanya penting bagi
lingkungan tetapi juga bagi kesejahteraan mereka sendiri, maka partisipasi dalam menjaga dan
menanam kembali mangrove meningkat secara signifikan.
Beberapa kelompok nelayan dan petambak di Subang kini bahkan mulai
mengintegrasikan konsep silvofishery, yakni budidaya ikan atau udang yang berpadu dengan
pelestarian mangrove. Sistem ini tidak hanya menjaga vegetasi mangrove tetap hidup, tetapi juga
memberikan hasil ekonomi yang berkelanjutan. Dengan adanya vegetasi mangrove yang sehat,
kualitas air meningkat, sehingga produktivitas tambak pun terjaga. Inilah bentuk adaptasi dan
inovasi yang menjadi jalan tengah antara kebutuhan ekonomi dan ekologi.
Pemulihan alami mangrove juga menjadi bagian penting dari cerita harapan ini. Di
beberapa area, terutama di lokasi yang masih memiliki substrat dan salinitas sesuai, mangrove
dapat tumbuh kembali secara alami tanpa bantuan manusia. Benih-benih mangrove (propagul)
yang terbawa arus laut menancap dan tumbuh, membentuk koloni-koloni kecil yang menjadi
cikal bakal hutan baru. Keberadaan mangrove alami ini sangat penting untuk memperkuat
struktur ekosistem dan menjadi indikator bahwa lingkungan pesisir masih memiliki daya
regenerasi yang cukup kuat.
Proses pemulihan ini tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri. Perlu ada perlindungan
terhadap area regenerasi alami, pengawasan dari aktivitas destruktif, serta pendidikan
berkelanjutan bagi masyarakat tentang pentingnya ekosistem mangrove. Pemerintah daerah
Kabupaten Subang memiliki peran penting dalam hal ini. Regulasi yang tegas terhadap alih
fungsi lahan dan insentif bagi masyarakat yang menjaga lingkungan perlu ditingkatkan. Selain
itu, riset dan pemantauan berkala oleh para ahli menjadi dasar untuk pengambilan keputusan
berbasis data dan fakta.
Lebih jauh, pelestarian mangrove tidak hanya soal konservasi, tetapi juga soal keadilan
sosial. Banyak masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup dari hasil laut dan tambak.
Ketika ekosistem rusak, mereka yang pertama kali terkena dampaknya. Oleh karena itu,
pelibatan masyarakat bukan hanya strategi ekologis, melainkan juga pendekatan humanistik.
Memberi ruang bagi masyarakat untuk menjadi aktor utama dalam pelestarian mangrove adalah
bentuk pengakuan atas kearifan lokal dan pengalaman hidup mereka.
Apa yang terjadi di pesisir Subang menjadi cerminan dari dinamika yang lebih luas di
seluruh pesisir Indonesia. Di satu sisi, ada tekanan besar dari pembangunan dan kebutuhan
ekonomi; di sisi lain, ada kesadaran yang tumbuh tentang pentingnya menjaga keseimbangan
alam. Harapan tumbuh dari pohon-pohon kecil yang perlahan menyusun kembali lanskap pesisir
yang dulu rusak. Setiap batang Rhizophora yang tertancap menjadi simbol ketekunan, ketahanan,
dan masa depan yang lebih lestari.
Perjalanan menuju keberlanjutan mangrove adalah perjalanan panjang yang
membutuhkan waktu, kesabaran, dan kerja sama lintas sektor. Tetapi kisah dari Subang
membuktikan bahwa perubahan itu mungkin. Bahwa dari reruntuhan, kehidupan bisa tumbuh
kembali. Dan bahwa nafas pesisir, yang sempat sesak oleh ambisi manusia, perlahan mulai pulih
oleh tangan-tangan yang peduli.
Kini saatnya untuk memastikan bahwa rehabilitasi tidak berhenti sebagai proyek jangka
pendek. Mangrove harus menjadi bagian dari kebijakan jangka panjang dalam tata kelola pesisir.
Edukasi di sekolah, kampanye di media, hingga peraturan hukum yang mendukung pelestarian
harus digerakkan bersama. Karena menjaga mangrove bukan hanya soal lingkungan, tapi soal
masa depan bersama.
Mangrove di Subang, dan di seluruh pesisir Indonesia, bukan hanya pohon-pohon di
pinggir laut. Mereka adalah penjaga bumi, pelindung manusia, dan warisan untuk generasi
mendatang. Maka dari itu, menjaga mereka berarti menjaga kehidupan itu sendiri.
(Penulis adalah Peminat Ekologi Sumber Daya Hayati dan Keutuhan Ciptaan).
No comments:
Post a Comment