Mufidah, atau saya panggil dengan Bu Mufid mengisahkan, bahwa hutan mangrove di desanya pernah dieksploitasi besar-besaran. Ini terjadi di awal tahun 1990-an, saat maraknya pembukaan tambak udang dan ikan. Saat itu, pohon mangrove dibabat habis.
“Di sini, sempet ada pembabatan mangrove buat dijadikan tambak. Ya, sekitar tahun 1990-an," kisah Bu Mufid. "Dulu itu, tambak sedang mengalami kejayaannya, karena mangrove memang masih banyak. Makanya, banyak warga sini yang membabat mangrove untuk dijadikan tambak juga,” ungkapnya.
Bu Mufid ingat betul, bahwa saat itulah mulai banyak sosialisasi dari mahasiswa, lembaga masyarakat dan lingkungan lainnya, yang mengedukasi mereka agar mau membangun lagi kawasan pesisirnya, hingga penanaman mangrove mulai berhasil digalakkan kembali hingga sekarang.
“Sekarang, kondisi lingkungan sini, lebih mending daripada yang dulu," terang ibu yang menjadi koordinator kelompok jajanan dan batik mangrove ini. "Tapi, tetap saja mangrove di sini butuh waktu yang lama untuk pulih. Apalagi abrasi di belakang itu, juga terus-terusan mengurangi garis pantai,” cemasnya.
Menurunnya produksi tambak di Mangunharjo menyebabkan banyak warganya beralih profesi. Saya melihat sendiri, betapa tambak-tambak di dekat pantai sudah hilang. Kata warga, tambak itu, dulu adalah sawah yang telah dikonversi.
Butuh biaya yang tidak sedikit untuk membuat tambak. Untuk itulah, kerusakan pematangnya karena gerusan abrasi, yang menyebabkan udang dan ikan hilang terbawa arus, membuat warga frustasi.
"Mangrove di sini banyak jenisnya. Ada Bakau, Lindur, ada juga Api-api. Jenisnya yang banyak ini, bisa jadi obat buat kerusakan lingkungan, biar cepat pulih kondisnya," terang Bu Mufid. "Untuk sekarang, warga-desa saya lebih fokus memperbaiki garis pantai dengan cara menanam mangrove," pungkasnya. (ADM/SP/GRE).
No comments:
Post a Comment